This beautiful natural-dyed Sekomandi cotton ikat comes from Kalumpang (Mamuju), West Sulawesi Indonesia. Sekomandi itself means a close and strong family ties.
Kalumpang has various archaeological remains - often referred to as the early centre of trade on Sulawesi island. Sekomandi woven motifs and patterns are believed to be one of the oldest motifs in the world.
Such a beauty Timorese ikat! ❤️
This natural-dyed ikat are from Timor, East Nusatenggara, Indonesia.
In Sanbet village, the motifs called Bibi Kuuf, means goat hooves, which actually refers to the deer footprints when they hunt.
in other village Bokong, this motifs called One Balle, referring to bee-hive.
This motives are rarely found in the market as only few weaver than make them.
Let's enjoy the beauty of the Pahikung ikat weaving from East Sumba, Indonesia.
This Katanga Wahil motif depicts a betel nut jar. Betel nut (areca catechu) chewing is common in everyday life. If you visit a house in Sumba, betel nut is served before drinks. It is a gesture of respect and intimacy.
Did you know that the motif "Panji Lori" in Tuban gedog batik weaving symbolizes rice (food)?
This motif has a noble philosophy as a powerful reminder that we nurture the nature and the soil in which we grow food that serves as the main pillar of human life. The motives of "Panji-Panji" in antiquity were only owned by nobles, but now can be owned by various social circles.
Tuban is located on the north coast of East Java, Indonesia. The culture of batik making in Tuban is very unique, called gedog batik or gedog woven. They planted their own cotton trees, spun them into yarn, weave them into woven fabrics, and then write them in beautiful motifs. Historically, batik Tuban gedog is influenced by 3 main cultures: Javanese, Islam and Chinese.
Motif batik Tambal memiliki makna menambal atau memperbaiki hal-hal yang rusak.Dalam perjalanan hidupnya, manusia harus memperbaiki diri menuju kehidupan yang lebih baik, lahir maupun batin.
Kain batik bermotif Tambal juga dipercaya bisa membantu kesembuhan orang yang sakit. Caranya adalah dengan menyelimuti orang sakit tersebut dengan kain motif Tambal. Kepercayaan ini muncul karena orang yang sakit dianggap ada sesuatu “yang kurang”, sehingga untuk mengobatinya perlu “ditambal” dengan semangat baru sehingga kesembuhan mudah didapatkan.
Berbagai corak batik sogan yang indah diantaranya adalah motif Wahyu Tumurun (artinya: turunnya wahyu), banyak disukai karena keindahan dan filosofinya yang mendalam.
Motif utamanya adalah mahkota terbang sebagai simbol kemuliaan, mengajak para pemakainya untuk lebih berharap kepada Tuhan, mendapatkan petunjuk, berkah, rahmat dan anugerah yang berlimpah dariNya. Demikian pula pengharapan yang bersifat keduniawian seperti kedudukan yang tinggi dan dapat meraih cita-cita yang diiidam-idamkan.
Batik Wahyu Tumurun juga banyak digunakan dalam upacara pernikahan adat Jawa, karena motif ini menyiratkan berkah kehidupan lahir bathin, keharmonisan dan kebahagiaan yang langgeng dalam kehidupan berumah tangga,
Batik wahyu tumurun telah dikenal sejak tahun abad ke-14 di wilayah Jogjakarta, kemudian menyebar ke berbagai daerah termasuk Solo. Ketika di Yogyakarta, motif bercorak burung merak, lain halnya di Solo. Ketika Wahyu Tumurun masuk, Solo sedang mengalami persilangan budaya antara Jawa dengan Cina. Sehingga motif burung merak diganti dengan motif burung Phoenix. Di kebudayaan Cina, Phoenix lebih dikenal dengan nama feng huang. Makhluk mitologi itu merupakan simbol dari kebajikan, kekuasaan, dan kemakmuran. Serta merupakan penggabungan antara konsep Yin (positif) dan Yang (negatif).
Beside the beauty of its volcanic landscapes and coastlines, Ende—East Nusa Tenggara with the status of a city where Pancasila birth takes place—has another heirloom to keep, the beautiful Ende Tenun. This woven cloth were famous for its natural dye color and numerous motifs which each embedded customs and beliefs of its people.
Tenun Ende generally are in a darker shades compared to many woven cloth from another region, nevertheless they also come with more varied motifs—though only women that wear a more diverse motifs while men tends to use only the stripes one.
Ende’s men usually wear tenun in the color of black or indigo, with a horizontal stripes (Ragi Sura Mbao) or vertical stripes (Ragu Surang Ndari). As for the women, floral and animal are more likely to be used as their preferred motifs.
Some of the most famous Ende’s motifs are Semba motif, used as a shawl for men and can be found in Nua Nelu, the village of Manulondo. Ndona. Semba can be interpreted as “path companion” and wear by men in a ceremonial celebration. Another motifs that often wear by women is the motif of Lawo Jara Nggaja, which means a horse and an elephant. This blackish tenun is the ceremonial cloth for the wives of chief tribe (Mosa Laki). For some other formal occasions, the common motifs to adorn upon are tenunLawo Pundi, inspired by insects and crawling animals—wear by daughters of Mosa Laki to dance Mure. Also the motifs of Lawo Soke that imitates the shape of breadfruit leaf (wuru tere), and Lawo Soke Bele Kale (flies’ wing motif); both of these woven clothes are wear by a bride on their wedding day.
There still are numerous other of Ende tenun motifs; Lawo Mangga with a pattern of fishnet (mata ndala) and fishtail fin (bhuja), Lawo Keli Mara with a pattern of mountains, Lawo Mata Sinde, Lawo Gami Tera Esa, and many more. How about it? Aren’t you getting interested to know Ende tenun further?
This bag made from Ende women sarong in lawo Jara motifs (jara means horse). Saliwu eyes are in between horses motifs.
https://www.researchgate.net/publication/306012678_TENUN_IKAT_ENDE
http://mozalora.blogspot.co.id/2013/11/tenun-ikat-ende-lio-flores.html
Selain keindahan laut serta landscape gunung vulkaniknya, Ende—NTT yang berstatus sebagai kota tempat lahirnya Pancasila juga memiliki peninggalan lain yang patut dicatat yakni kain tenunnya. Kain tenun Ende terkenal dengan warna-warna alamnya serta motif yang mengilustrasikan adat serta kepercayaan masyarakatnya.
Tenun Ende cenderung berwarna lebih gelap dibandingkan kain tenun dari daerah lain, namun dengan motif yang jauh lebih beragam—meski umumnya hanya kaum perempuannya sajalah yang mengenakan bermacam-macam motif, sedangkan kaum pria cenderung selalu mengenakan motif bergaris/jalur.
Tenun yang dipakai oleh pria Ende biasanya memiliki warna dasar hitam atau indigo, dengan jalur lurus ke samping (Ragi Sura Mbao) atau jalur lurus ke bawah (Ragi Surang Ndari). Sedangkan perempuannya lebih sering mengenakan tenun dengan motif flora dan fauna.
Beberapa motif yang terkenal di Ende adalah motif Semba, digunakan sebagai selendang bagi kaum pria dan dapat ditemukan di wilayah Nua Nelu, desa Manulondo, Ndona. Semba dapat diartikan sebagai “pengiring jalan” dan dipakai dalam upacara adat. Motif lain yang banyak dipakai kaum perempuan adalah motif Lawo Jara Nggaja, yang berarti kuda dan gajah. Tenun yang berwarna kehitaman ini adalah pakaian kebesaran dari istri para tetua adat (Mosa Laki). Motif lain yang dipakai dalam acara resmi adalah motif Lawo Pundi, terinsipirasi dari bentuk serangga dan binatang melata—dipakai oleh anak perempuan dari Mosa Laki untuk menarikan tariam Mure—serta motif Lawo Soke yang meniru bentuk daun sukun (wunu tere) serta Lawo Soke Bele Kale (motif sayap lalat), kedua kain ini dipakai oleh pengantin perempuan.
Masih sangat banyak motif lain dari tenun Ende, diantaranya Lawo Mangga dengan motif jala ikan (mata ndala) dan sirip ekor ikan (bhuja), Lawo Keli Mara yang bermotif gunung, Lawo Mata Sinde, Lawo Gami Tera Esa, dan masih banyak lagi. Bagaimana? Tertarik untuk mengenal kain tenun Ende lebih jauh bukan?
Tas di bawah ini dibuat dari sarung perempuan tenun ikat Ende lawas dengan motif Lawo (sarong) Jara (kuda) dengan motif mata Saliwu di antara motif kuda.
https://www.researchgate.net/publication/306012678_TENUN_IKAT_ENDE
http://mozalora.blogspot.co.id/2013/11/tenun-ikat-ende-lio-flores.html
Dengan berakhirnya pemerintahan kesultanan jambi, produksi batik jambi menurun secara drastis. Kalaupun ada pengrajin batik, itu pun dikerjakan oleh beberapa pengrajin yang sudah berusia tua.
Pada masa penjajahan belanda, berita tentang batik jambi kembali dimarakkan dengan munculnya berbagai artikel yang ditulis oleh para penulis belanda , salah satunya adalah B.M. Goslings yang menyatakan bahwa atas persetujuan Prof. Vam Eerde dia meminta Residen Jambi H.E.K. Ezermann untuk meneliti batik Jambi. Sekitar oktober 1928 dtg tnggapan dari Ezermann, bahwa di dusun Tengah pada wktu itu memang sesungguhnya ada pengrajin seni batik dan menghasilkan karya yang sangat indah. (B.M. Goslings, 1928, halaman 1411)
Batik Jambi motif Sembagi yang cantik ini diperkirakan diproduksi antara tahun 1920-1940, dengan menggunakan pewarna alam seperti mengkudu untuk warna merah dan Indigo untuk biru.
The dominant cultural groups of North Sumatra are the various Batak ethnic groups whose textiles are commonly referred to as Ulos, which litteraly means 'blanket', that warms the body and protect it from exposure to cold air.
Many different kind of ulos, and one of the special one is Ulos Ragi Hotang (means 'rattan pattern'). It is traditionally placed around the shoulders of a bridal couple expressing the wish that their union will be as strong as rattan.
A beautiful & old Ulos Ragi Hotang example below is finished with particularly beautiful bonds of ornamentation at the ends.
Ulos Ragi Hotang were gifted to a bridal couple (called as ulos Hela) as a sign that the bride parents have approved the groom as their son-in-law ('Hela'). This giving is always accompanied by the mandar Hela (son-in-law sarong) as symbol that he should not behave anymore like a single man, but rather as a parent.